Dalam dunia korporasi, terutama di Indonesia, sering kali muncul pertanyaan tentang legalitas seorang komisaris perusahaan induk yang melakukan rangkap jabatan sebagai karyawan atau komisaris di anak perusahaan. Selain berkaitan dengan aspek hukum, hal ini juga erat kaitannya dengan tata kelola perusahaan yang baik, potensi konflik kepentingan, dan pelaksanaan pengawasan yang efektif. Artikel ini akan membahas dengan rinci bagaimana ketentuan hukum di Indonesia terkait rangkap jabatan ini dan apa saja hal yang perlu diperhatikan agar praktik ini tetap optimal dan efisien.
Inilah Dasar Hukum Komisaris Perusahaan Induk Bisa Menjadi Karyawan di Anak Perusahaan?
Dalam praktik korporasi di Indonesia, komisaris perusahaan induk dapat merangkap sebagai karyawan atau komisaris di anak perusahaan, asalkan sesuai dengan hukum dan regulasi yang berlaku. Hal ini umum terjadi dalam grup perusahaan atau BUMN, di mana rangkap jabatan dianggap sebagai mekanisme pengawasan yang memastikan kebijakan induk dijalankan konsisten di anak perusahaan.
Mengacu pada Peraturan Menteri BUMN No. 3 Tahun 2023, direksi BUMN diperbolehkan merangkap jabatan sebagai komisaris di anak perusahaan dengan syarat tidak menerima penghasilan ganda (single income). Ketentuan ini bertujuan mencegah konflik kepentingan dan memastikan komisaris tetap berfungsi sebagai pengawas, bukan terlibat dalam operasional harian yang bisa menimbulkan benturan kepentingan. Proses pengangkatan komisaris atau karyawan di anak perusahaan juga harus melalui mekanisme resmi, seperti Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Penting diingat bahwa entitas hukum induk dan anak perusahaan bersifat terpisah, sehingga pemberhentian di satu entitas tidak otomatis memengaruhi entitas lainnya.
Meskipun diperbolehkan secara hukum, perusahaan harus menjamin transparansi dan penerapan tata kelola yang baik (Good Corporate Governance) agar rangkap jabatan tidak menimbulkan masalah etika maupun pengelolaan yang kurang efektif. Dalam beberapa kasus, rangkap jabatan juga harus memperhatikan aturan internal perusahaan serta regulasi seperti Undang-Undang Perseroan Terbatas dan larangan monopoli yang membatasi rangkap jabatan di pasar yang sama.
Dengan pengelolaan tepat, rangkap jabatan dapat menjadi alat strategis untuk memperkuat sinergi induk dan anak perusahaan tanpa mengorbankan transparansi dan akuntabilitas.
Dasar Hukum di Indonesia Terkait Rangkap Jabatan Komisaris dan Direksi.
Pengaturan mengenai rangkap jabatan komisaris dan direksi di Indonesia diatur dalam berbagai regulasi untuk memastikan tata kelola yang baik serta mencegah benturan kepentingan. Berikut adalah beberapa landasan hukum yang relevan:
1. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT)
UU PT menetapkan struktur organisasi perusahaan yang terdiri atas Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Direksi, dan Dewan Komisaris. Meskipun demikian, undang-undang ini tidak secara eksplisit melarang rangkap jabatan sebagai komisaris dan direksi dalam perusahaan berbeda.
2. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN)
Pasal 25 dan Pasal 33 UU BUMN secara khusus melarang rangkap jabatan bagi anggota Direksi dan Komisaris BUMN guna mencegah benturan kepentingan. Contohnya, anggota Direksi tidak diperbolehkan menjabat sebagai anggota Direksi atau Komisaris di BUMN lain, badan usaha milik daerah, atau perusahaan swasta yang dapat menimbulkan konflik kepentingan.
3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
Pasal 26 UU ini melarang seseorang merangkap jabatan sebagai Direksi atau Komisaris di perusahaan yang beroperasi di pasar yang sama atau memiliki kaitan erat dalam bidang usaha serupa. Tujuannya adalah untuk mencegah monopoli dan menjaga persaingan usaha yang sehat.
4. Peraturan Menteri BUMN Nomor PER-03/MBU/02/2015 dan PER-10/MBU/10/2020
Peraturan ini mengatur persyaratan, tata cara pengangkatan dan pemberhentian, serta larangan rangkap jabatan bagi anggota Direksi dan Komisaris di lingkungan BUMN. Anggota Dewan Komisaris maupun Direksi hanya dapat menjabat rangkap atas penugasan khusus dari Menteri BUMN.
5. Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Nomor 7 Tahun 2009
Peraturan ini memberikan pedoman terkait larangan rangkap jabatan untuk mencegah konflik kepentingan serta praktik monopoli.
Secara keseluruhan, rangkap jabatan diperbolehkan selama tidak menimbulkan benturan kepentingan, tidak melanggar aturan pasar persaingan sehat, dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun, dalam praktik BUMN dan perusahaan besar, rangkap jabatan sering dibatasi untuk menjaga tata kelola perusahaan yang baik dan integritas pengelolaan.
Hal-Hal Penting yang Perlu Diperhatikan
1. Larangan Rangkap Jabatan yang Berpotensi Benturan Kepentingan
Anggota Direksi dan Komisaris dilarang merangkap jabatan yang dapat menimbulkan benturan kepentingan. Contohnya, rangkap jabatan di perusahaan lain yang berada dalam pasar yang sama atau memiliki keterkaitan erat dalam bidang usaha serupa. Larangan ini diatur dalam Undang-Undang BUMN Pasal 25 dan Pasal 33, serta Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli Pasal 26.
2. Pembatasan Rangkap Jabatan demi Kinerja dan Tata Kelola
Untuk menjaga kinerja dan tata kelola yang baik, Direksi tidak diperbolehkan merangkap jabatan sebagai Direksi di perusahaan lain dengan bidang usaha serupa. Sementara itu, Komisaris dilarang merangkap jabatan sebagai Direksi dalam perusahaan yang sama. Anggota Dewan Komisaris dapat merangkap jabatan sebagai Komisaris di perusahaan lain di luar sektor jasa keuangan dengan persetujuan RUPS, namun jumlah rangkap jabatan tetap dibatasi demi menjaga kinerja dan independensi.
3. Persyaratan Fit and Proper Test
Anggota Dewan Komisaris dan Direksi wajib memenuhi persyaratan penilaian kemampuan dan kepatutan (fit and proper test) yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) atau regulator terkait. Tujuannya adalah memastikan bahwa para anggota memiliki integritas dan kompetensi yang memadai untuk menjalankan tugasnya.
4. Ketentuan Khusus untuk BUMN
Larangan rangkap jabatan di BUMN lebih ketat dibandingkan perusahaan lain. Direksi dan Komisaris BUMN dilarang merangkap jabatan di BUMN lain, badan usaha milik daerah, badan usaha swasta, atau jabatan struktural maupun fungsional di instansi pemerintah yang berpotensi menimbulkan benturan kepentingan.
5. Pengangkatan dan Pemberhentian Melalui RUPS
Proses pengangkatan dan pemberhentian anggota Direksi dan Komisaris harus dilakukan melalui mekanisme Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Jika terjadi rangkap jabatan yang melanggar ketentuan, hal ini dapat dijadikan dasar pemberhentian dari jabatan.
6. Transparansi dan Akuntabilitas dalam Tata Kelola
Perusahaan wajib menerapkan prinsip Good Corporate Governance (GCG) dengan mengedepankan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan rangkap jabatan. Hal ini penting untuk memastikan bahwa perusahaan dan pemegang saham tidak dirugikan oleh keputusan tata kelola yang tidak tepat.
Penutup
Komisaris perusahaan induk dapat merangkap sebagai karyawan atau komisaris di anak perusahaan, asalkan memenuhi ketentuan hukum dan tata kelola yang berlaku. Keberhasilan dari praktik ini sangat bergantung pada kemampuan perusahaan untuk menjaga transparansi, akuntabilitas, dan menghindari potensi konflik kepentingan. Dengan mematuhi prinsip Good Corporate Governance, perusahaan dapat memastikan bahwa rangkap jabatan berjalan secara optimal dan mendukung pertumbuhan bisnis secara keseluruhan.
Referensi
- Peraturan Menteri BUMN No. 3 Tahun 2023.
- Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
- Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Butuh Jasa Hukum? Gunakan jasa Nobile Bureau.