masa probation

Mekanisme Probation Beserta Aturannya dalam UU Cipta Kerja

Memasuki dunia kerja seringkali diawali dengan masa percobaan atau yang dikenal dengan istilah probation. Periode ini merupakan tahapan krusial bagi karyawan baru untuk menunjukkan kompetensi dan adaptabilitasnya, sekaligus menjadi momen evaluasi bagi perusahaan sebelum memberikan status kepegawaian permanen. Namun, masih banyak kesalahpahaman mengenai aturan main, hak, serta kewajiban yang berlaku selama periode ini. Kurangnya pemahaman dapat menimbulkan kerugian bagi karyawan maupun perusahaan.

Mekanisme probation diatur secara ketat dalam kerangka hukum ketenagakerjaan Indonesia untuk melindungi kedua belah pihak. Kali ini penulis kami akan membahas secara mendalam mengenai mekanisme probation, mulai dari landasan hukum yang mengaturnya, perbedaan mendasar antara karyawan tetap dan kontrak, hingga hak-hak esensial yang harus dipenuhi oleh perusahaan selama masa percobaan berlangsung. Pemahaman yang komprehensif atas topik ini akan membantu memastikan bahwa proses evaluasi berjalan adil dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Landasan Hukum Mengenai Masa Probation

Regulasi mengenai masa percobaan kerja di Indonesia secara fundamental diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) yang kemudian diperbarui melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (“UU Cipta Kerja”).

Ketentuan utama yang relevan adalah Pasal 60 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, yang menyatakan:

“Perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu dapat mensyaratkan masa percobaan kerja paling lama 3 (tiga) bulan.”

Pasal ini menegaskan dua poin krusial:

  1. Masa probation hanya dapat diterapkan pada karyawan dengan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) atau karyawan tetap.
  2. Durasi maksimal masa probation adalah tiga bulan dan tidak dapat diperpanjang.

Sebaliknya, Pasal 58 UU Cipta Kerja secara eksplisit melarang penerapan masa percobaan untuk karyawan dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) atau karyawan kontrak. Jika perusahaan tetap memberlakukan masa probation pada karyawan kontrak, maka periode tersebut dianggap batal demi hukum dan masa kerja karyawan tetap dihitung sejak hari pertama ia mulai bekerja.

Tujuan dan Mekanisme Evaluasi Selama Probation

Tujuan utama dari masa probation adalah sebagai periode penilaian (assessment) timbal balik. Bagi perusahaan, ini adalah kesempatan untuk mengevaluasi apakah seorang karyawan baru memiliki keterampilan teknis (hard skills) dan interpersonal (soft skills) yang sesuai dengan kebutuhan posisi dan budaya perusahaan. Pihak yang terlibat dalam evaluasi ini umumnya adalah departemen Sumber Daya Manusia (HRD) dan manajer langsung dari karyawan yang bersangkutan.

Aspek-aspek yang dievaluasi mencakup:

  • Kemampuan karyawan dalam menyelesaikan tugas sesuai target atau Key Performance Indicator (KPI) yang ditetapkan.
  • Aspek seperti kemampuan komunikasi, kerja sama tim, inisiatif, tanggung jawab, dan cara penyelesaian masalah.
  • Kemampuan karyawan untuk beradaptasi dengan lingkungan kerja, rekan tim, dan budaya perusahaan.
  • Sejauh mana karyawan memahami dan menyelaraskan diri dengan tujuan jangka panjang perusahaan.

Hasil evaluasi ini menjadi dasar bagi perusahaan untuk memutuskan apakah hubungan kerja akan dilanjutkan dengan pengangkatan sebagai karyawan tetap atau dihentikan setelah masa probation berakhir.

Hak-Hak Karyawan Selama Masa Probation

Meskipun berstatus dalam masa percobaan, seorang karyawan tetap memiliki hak-hak fundamental yang dilindungi oleh hukum. Status probation tidak mengurangi hak-hak dasar sebagai pekerja. Berikut adalah hak-hak esensial yang wajib dipenuhi oleh perusahaan:

1. Hak atas Upah yang Layak

Salah satu kesalahpahaman yang paling umum adalah mengenai upah selama masa probation. Banyak perusahaan membayar upah di bawah standar dengan alasan status percobaan. Praktik ini bertentangan dengan hukum. Karyawan probation berhak menerima upah paling sedikit sebesar upah minimum yang berlaku di wilayah kerja setempat, baik itu Upah Minimum Provinsi (UMP) maupun Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK).

Meskipun terdapat praktik dimana beberapa perusahaan, seperti pada Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS), memberikan gaji sebesar 80% dari total gaji berdasarkan PP No. 11 Tahun 2002, praktik ini tidak dapat digeneralisasi untuk sektor swasta. Hukum ketenagakerjaan swasta mensyaratkan pembayaran upah minimum penuh.

2. Hak atas Tunjangan Hari Raya (THR)

Berdasarkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2016, karyawan yang telah bekerja selama minimal satu bulan secara terus-menerus berhak atas Tunjangan Hari Raya (THR) Keagamaan. Ini berarti, karyawan probation yang telah melewati masa kerja satu bulan juga berhak mendapatkan THR, yang besarnya dihitung secara proporsional.

3. Hak atas Jaminan Sosial

Perusahaan wajib mendaftarkan karyawan probation dalam program jaminan sosial yang diselenggarakan oleh BPJS, yang mencakup Jaminan Kesehatan (JKN-KIS) dan Jaminan Ketenagakerjaan (JHT, JKK, JKM, JP). Perlindungan ini harus diberikan sejak hari pertama karyawan bekerja.

4. Hak atas Waktu Kerja dan Cuti

Karyawan probation tunduk pada aturan waktu kerja yang sama dengan karyawan lainnya. Selain itu, mereka juga berhak atas cuti jika memenuhi syarat, seperti cuti sakit dengan surat keterangan dokter atau hak istirahat lainnya yang diatur dalam undang-undang, seperti cuti melahirkan atau cuti karena anggota keluarga meninggal dunia. Namun, hak atas cuti tahunan umumnya baru timbul setelah karyawan bekerja selama 12 bulan penuh.

Konsekuensi Hukum dan Penghentian Hubungan Kerja

Penting untuk dicatat bahwa syarat masa probation harus dinyatakan secara eksplisit dalam perjanjian kerja (PKWTT). Jika perjanjian dibuat secara lisan, maka syarat ini harus disampaikan kepada pekerja dan dicantumkan dalam surat pengangkatan. Apabila tidak tercantum, maka masa probation dianggap tidak sah.

Jika selama masa evaluasi karyawan dinilai tidak memenuhi standar kinerja yang ditetapkan, perusahaan berhak untuk tidak melanjutkan hubungan kerja. Pengakhiran hubungan kerja (PHK) pada akhir masa probation tidak mewajibkan perusahaan untuk memberikan uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, atau uang penggantian hak, sebagaimana diatur dalam Pasal 156 UU Ketenagakerjaan. Namun, PHK harus dilakukan tepat pada saat masa percobaan berakhir, bukan di tengah-tengah periode tersebut tanpa alasan yang sah.

Opini Penulis Mengenai Masa Probation

Mekanisme probation adalah alat evaluasi yang sah dan penting dalam proses rekrutmen, namun pelaksanaannya harus selaras dengan koridor hukum yang berlaku. Perusahaan tidak dapat menggunakan periode ini untuk mengeksploitasi tenaga kerja atau mengurangi hak-hak normatif yang seharusnya diterima oleh karyawan. Di sisi lain, karyawan perlu memahami ekspektasi kinerja dan hak-hak mereka untuk memastikan bahwa proses probation berjalan secara adil dan transparan. Dengan pemahaman yang benar dari kedua belah pihak, masa percobaan dapat menjadi fondasi yang kuat untuk hubungan kerja yang produktif dan saling menguntungkan.

Direview oleh Tim Pengacara Nobile Bureau

Referensi:

  1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
  2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.
  3. Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2016 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan
Scroll to Top